*Adi Yanto
Mahasiswa BKU Kebijakan Publik
Magister Administrasi Publik Universitas Sriwijaya
Kegiatan pemasaran (baca: marketing) menjadi hal sentral di dunia bisnis. Prinsip “sell what we can produce” menggantikan “produce what we can sell” keyakinan itu mengukuhkan pentingnya pemasaran dalam sektor privat maupun sektor publik. Filosofi itu dapat dimaknai bahwa marketing sangatlah universal. Bukan hanya soal menjual barang atau jasa namun jauh lebih penting, yaitu menempatkan pelanggan sebagai prioritas utama. Di organisasi bisnis, marketing sudah menjadi hal lumrah dan telah dilakukan sejak lama. Lalu bagaimana di sektor publik?
Hakekat sektor publik adalah organisasi yang didirikan untuk memberikan layanan kepada masyarakat. Sementara masyarakat itu sendiri merupakan donatur untuk penyelenggaraan layanan itu sendiri (Shire:1987). Sektor publik tidaklah menempatkan keuntungan sebagai prioritas utama namun kepuasan pelanggan dan reputasi lembaga jadi pertaruhan. Di sektor ini, tidak ada bentuk persaingan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, lembaga publik memonopoli bisnis layanannya. Seperti layanan kependudukan yang diberikan Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil, Layanan Perizinan, juga layanan pertanahan. Lain kasus dengan layanan pendidikan dan kesehatan yang kini banyak di garap oleh sektor swasta. Bermonopoli bagi organisasi publik tidaklah berarti tanpa membutuhkan marketing. Dalam kasus sektor publik, persefsi pelanggan terhadap kinerja suatu lembaga publik, tidak sedemikian mudahnya dipengaruhi oleh pendapat pelanggan lain, seperti yang terjadi di sektor swasta. Sehingga, dalam konteks ini, marketing dapat berperan untuk mewujudkan/memuaskan kebutuhan pelanggan yang berbeda-beda serta menjaga citra di mata publik.
Berawal dari Transformasi Paradigma Administrasi Negara
Paradigma tentang administrasi negara terus bertransformasi. Diawali oleh paradigma administrasi negara lama atau dikenal dengan sebutan Administrasi Negara Tradisional atau Klasik. Paradigma ini berkembang pada awal kelahiran ilmu administrasi negara dengan tokohnya antara lain Woodrow Wilson (1887) serta F.W. Taylor.
Wilson berpendapat bahwa problem utama yang dihadapi pemerintah eksekutif adalah rendahnya kapasitas administrasi. Untuk mengembangkan birokrasi pemerintah yang efektif dan efisien, menurut Wilson diperlukan aparatur publik yang profesional dan non-partisan. Karena itu, tema dominan dari pemikiran Wilson adalah aparat atau birokrat yang netral dari politik. Administrasi negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen ilmiah dan terpisah dari hiruk pikuk kepentingan politik. Pemikiran Wilson ini kemudian dikenal dengan konsep ‘dikotomi politik dan administrasi’.
Teori penting lain administrasi tradisional oleh Max Weber yang lalu dikenal kemudian dengan paham Weberian. Weber mengemukakan ciri-ciri struktur birokrasi yang meliputi hirarki kewenangan, seleksi dan promosi berdasarkan merit system, aturan dan regulasi yang merumuskan prosedur dan tanggungjawab kantor, dan sebagainya. Karakteristik ini disebut sebagai bentuk kewenangan yang legal rasional yang menjadi dasar birokrasi modern.
Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1970an, muncul Paradigma Administrasi Negara Baru (New Public Administration) Paradigma ini mengkritisi paradigma administrasi lama atau klasik yang terlalu menekankan pada parameter ekonomi. Menurut paradigma Administrasi Negara Baru, kinerja administrasi publik tidak hanya dinilai dari pencapaian nilai ekonomi ,efisiensi, dan efektivitas ,tapi juga pada nilai “social equity” (disebut sebagai pilar ketiga setelah nilai efisiensi dan efektivitas). Implikasi dari komitmen pada ”social equity”, maka administrator publik harus menjadi ’proactive administrator’ bukan sekedar birokrat yang apolitis.
Sekitar tahun 1980an muncul Paradigma New Public Management (NPM) dan menguat tahun 1990an sampai sekarang. Prinsip dasar paradigma NPM adalah menjalankan administrasi negara sebagaimana menggerakkan sektor bisnis (run government like a business atau market as solution to the ills in public sector). Strategi ini perlu dijalankan agar birokrasi model lama yang lamban, kaku dan birokratis siap menjawab tantangan era globalisasi.
Penggagas NPM David Osborne dan Ted Gaebler (1992) mengemukakan konsep tentang ”Reinventing Government” yang menyarankan agar semangat wirausaha dikuatkan dalam sistem administrasi negara. Birokrasi publik harus lebih menggunakan cara ”steering” (mengarahkan) daripada ”rowing” (mengayuh). Dengan cara ”steering”, pemerintah tidak langsung bekerja memberikan pelayanan publik, melainkan sedapat mungkin menyerahkan ke masyarakat. Peran negara lebih sebagai fasilitator atau supervisor penyelenggaraan urusan publik. Model birokrasi yang hirarkis-formalistis menjadi tidak lagi relevan untuk menjawab problem publik di era global.
Terkini, sekitar tahun 2003 Janet V.Dernhart dan Robert B.Dernhart meng”counter” paradigma administrasi yang menjadi arus utama (mainstream) saat ini yakni paradigma New Public Management yang berprinsip “run government like a businesss” atau “market as solution to the ills in public sector”.
Paradigma New Public Service (NPS) yang digagas Dernhart dan Dernhart mengatakan bahwa menjalankan administrasi pemerintahan tidaklah sama dengan organisasi bisnis. Administrasi negara harus digerakkan sebagaimana menggerakkan pemerintahan yang demokratis. Misi organisasi publik tidak sekedar memuaskan pengguna jasa (customer) tapi juga menyediakan pelayanan barang dan jasa sebagai pemenuhan hak dan kewajiban publik.
Paradigma NPS memperlakukan publik pengguna layanan publik sebagai warga negara (citizen) bukan sebagai pelanggan (customer). Administrasi negara bukan hanya soal memuaskan pelanggan tapi juga bagaimana memberikan hak warga negara dalam mendapatkan pelayanan publik.