ONEWS-Id.Com (OKI)-Kisah ini sekelumit kecil saja dari perjalanan panjang Musir bin Salisin (60) warga Desa Jermun Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan Komering Ilir yang dipertemukan kembali dengan keluarganya melalui jejaring media sosial setelah 46 tahun tanpa kabar di perantauan.
Tak pelak kepulangan Musir ke desa Jermun disambut haru biru dan isak tangis keluarga yang menganggapnya telah tiada. Pulang bersama anak dan menantu, Musir ingin melepas rindu sekalian menghadiri undangan pernikahan keponakannya pada Minggu, (31/1/2021) di Desa Jermun, Pampangan OKI.
Musir memulai perjalanan panjangnya sejak usia belia. Akibat himpitan ekonomi Musir yang kala itu baru berusia 14 tahun nekat meninggalkan kampung halaman merantau ke wilayah pantai timur Kabupaten Ogan Komering Ilir tepatnya di perkampungan nelayan Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal OKI.
“Sekitar tahun 1975, awalnya bekerja di perkebunan karet. Lalu ikut melaut jadi nelayan di lautan lepas” kenangnya.
Musir mengungkap kala itu kepergiannya meninggalkan desa tercinta karena dorongan ingin hidup lebih baik.
“Cuma 3 tahun di Sungai Pasir, lalu melaut dan tidak pernah pulang” ujarnya.
Terombang-ambing di lautan hingga ditangkap Australian Coast Guard
Petualangan Musir di lautan lepas tak perlu diragukan. Pada 1978 kenangnya bersama beberapa nelayan dengan kapal motor sederhana mereka berangkat dari pantai timur OKI mengaruhi Selat Bangka ke arah Lampung menuju ke Selat Sunda.
Pada hari itu kisahnya kapal yang mereka tumpangai goyah karena badai. Kapal yang berukuran 25 kaki (7,6 m) itu dipenuhi dengan ikan tangkapan, dan perlengkapan berlayar, seperti bahan bakar, dan umpan.
Setelah beberapa minggu melaut sebenarnya mereka berencana kembali setelah mendapatkan hasil tangkapan, namun mereka terjebak hujan badai.
Di tengah badai mereka harus bertahan. Musir muda mulai mabuk laut, muntah-muntah, menjerit dan akhirnya menangis karena ketakutan.
Sementara Sang Nahkoda tuturnya tetap duduk, mencengkeram kemudi dngan erat, bertekad untuk menavigasi badai yang semakin kuat sehingga kapal kayu itu terhempas ke tengah laut.
Bayang kampung halaman tutur datang bersama badai yang mengombang-ambingkan kapal dan isi perutnya.
Kala itu kenangnya peralatan navigasi belum secanggih saat ini. Melaut hanya mengandalkan nyali dan ilmu falak (perbintangan) yang dia peroleh dari sekolah rakyat (SR) warisan Belanda.
Berbulan-bulan lamanya mereka terombang-ambing dilautan. Perbekalan mulai habis. Bahkan mereka sempat memakan ikan mentah dan menadah air hujan agar terhindar dari dehidrasi.
Pagi itu kenang Musir setelah semalaman dihempas badai, awan hitam tampak hilang. Mereka tidak menyadari kemana kapal kayu berlabuh hingga sekitar pukul 10 pagi sebuah kapal asing mendekati mereka. Orang-orang berkulit putih tinggi besar menghardik mereka kenangnya.
Bahasa tentu menjadi kendala. Tak satupun dari mereka memahami makian atau pujian yang disampaikan orang berkulit putih, berseragam dengan senjata lengkap itu. Apalagi Musir pemuda dusun yang hanya tamatan SR (Sekolah Rakyat).